Kumpulan Lengkap Puisi Abu Wafa

Kumpulan  Lengkap  Puisi Abu Wafa
Kumpulan  Lengkap  Puisi Abu Wafa Tentang Abu Wafa, Abu Wafa lahir di Surabaya, 5 Juli 1990. Lulusan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya. Aktifis sastra di Komunitas Rabo Sore. Tinggal di Mojokerto dan Surabaya.

Kunjungi juga;

Gigi

sebelum pulang, ibu guru memberi PR
“buatlah gambar yang berhubungan
dengan gigi!”

sesampai di rumah, aku menggambar
pintu dan selokan
“bukankah kau harus menggambar
yang ada hubungannya dengan gigi?”
ayah bertanya sedikit bimbang

karena pintu, gigiku terlepas
sewaktu berlari tanpa kendali
kata ayah, gigi atas harus dibuang ke bawah
selokanlah yang jadi muaranya
aku menjelaskan dengan bangga

di kelas, aku mendapat nilai terbawah

 Menunggu Banjir

kami bersahabat baik dengan air
terutama yang berjumlah melimpah
karena kolam renang sulit ditemui
dan tiket yang mahal menjadi
alasan utama ibu melarang:
“lebih baik untuk makan.”

kecuali sungai yang penuh tai dan
banjir yang datang kadang-kadang
ibu tidak melarang. hanya mewanti-wanti
“jangan lama-lama. kau bukan ikan.”

rumahku salah satu pembenci banjir
tiap kali air meluap dari sungai,
mengetuk pintu, ayah memindahkan
kasur, televisi, kipas, ijasah dan
benda-benda berharga yang mudah basah

ketika banjir hampir setinggi separo pintu
orang-orang dewasa berusaha
menenangkan air yang masuk
dengan timba, karung pasir, atau apapun
yang mampu mereka gunakan

kami menghalaunya dengan kesenangan
berenang, bermain koin,
atau mendorong perahu karet
yang minta pertolongan
siapa yang tidak menyukai dikunjungi sahabat baik?

setengah hari, banjir mengunjungi kami
Ibu dan ayah membenarkan letak isi rumah
jangan tanya kami sedang apa
tubuh kami penuh sirip dan keriput

 Sepasang Nama yang Tersangkut di Toilet

tiada yang mengetahui siapa yang menuliskannya
kecuali sejumlah tangan yang keisengan
kebosanan sering melanda siswa yang tengah
diserang hajat

aku tak mengerti
tiada yang menuliskan namaku dan namamu
di dalam daun waru

 Bermimpi

dengan mudahnya aku
menggantungkan harapan dan impian
di sela bintang-bintang
sebelum tidur, aku selalu berdoa,
“impianku, turunlah bersama bintang jatuh!”

tak mudah menjumpai jatuhnya bintang
malah hujan yang datang
ke belakang, aku mengambil ember
menaruhnya di halaman
“mungkin inilah bintang yang terpecah
menjadi air hujan”

lantas aku ke dapur, memasaknya
ibu hampir mencegah, namun
dihalangi ayah
“agar dia tahu rasanya air hujan”

esoknya, aku terbaring di ranjang
ayah menasehati sembari memberi buku
ibu tetap was-was, menanyaiku macam-macam
dalam hati, aku masih yakin
aku menjaring hujan yang salah

 Cara Menghitung Anak

rahasia adalah santapan paling nikmat
dengan bumbu-bumbu masa depan
dan keingintahuan yang menggebu
aku menawarkan, kau mengiyakan,
menyerahkan tanganmu untuk
kuramal berapa anakmu nanti

dua, kataku,
dua urat menyerupai berudu
muncul setelah kusapu dengan
ibu jari, membangunkannya
dari tidur panjangnya

setengah percaya setengah penasaran,
kau tersipu, setengah membayangkan
punya dua anak saat kau belum
punya akar yang kuat untuk pijakan

tanganmu masih menggenggam,
menahan harapan yang tumbuh
begitu saja di telapakmu
aku, melihatmu, memastikan
berudu itu nanti tumbuh besar
menyerupaiku

 Sembilan

jika boleh berkhayal.
aku ingin menghidupkan angka tiga
sayapnya bisa membawa
terbang kemana-mana

namun, ketika raporku ada angka tiga
ibu marah, terlebih ayah
“kau harus dapat angka sembilan,
jika tidak. kau tidak ayah sekolahkan lagi.”

rapor berikutnya, meningkat dapat enam
ibu sedikit bangga, berbeda dengan ayah
“Sembilan! Bukan enam!”
namun, bagiku,
enam dan sembilan hampir mirip
tinggal diputar balik

aku belajar lebih tekun dan giat
dan akhirnya, ada angka sepuluh di raporku
ibu langsung sumringah, ayah lagi-lagi marah
“Aku minta sembilan! Apa kau ingin menjadi Tuhan!”


Puisi yang kami berikan diatas bersumber dari media online Lihat puisi berikutnya