Kumpulan Lengkap Puisi-Puisi
Karya Rendra
Kumpulan Lengkap Puisi-Puisi Karya Rendra. Tentang Rendra,Bernama lengkap
Willibrordus Surendra Broto Rendra lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935
– meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun.
Pendidikan SMA St. Josef, Solo. Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta. American Academy of Dramatical Art, New York, USA
(1967). Kumpulan puisinya antara lain Ballada Orang-Orang Tercinta, Blues untuk
Bonnie, Empat Kumpulan Sajak, Sajak-sajak Sepatu Tua, Mencari Bapak, Perjalanan
Bu Aminah, Nyanyian Orang Urakan, Pamphleten van een Dichter, Potret
Pembangunan Dalam Puisi, Disebabkan Oleh Angin, Orang Orang Rangkasbitung,
Rendra: Ballads and Blues Poem, State of Emergency. Penghargaan yang pernah
diterima : Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954), Hadiah Sastra
Nasional BMKN (1956), Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970),
Hadiah Akademi Jakarta (1975), Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan (1976), Penghargaan Adam Malik (1989), The S.E.A. Write Award
(1996), Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Lihat yang terbaru:
Tangis
Ke mana larinya anak tercinta
yang diburu segenap penduduk
kota?
Paman Doblang! Paman Doblang!
la lari membawa dosa
tangannya dilumuri cemar noda
tangisnya menyusupi belukar di
rimba.
Sejak semalam orang kota
menembaki
dengan dendam tuntutan mati
dan ia lari membawa diri.
Seluruh subuh, seluruh pagi.
Paman Doblang! Paman Doblang!
Ke mana larinya anak tercinta
di padang lalang mana
di bukit kapur mana
mengapa tak lari di riba
bunda?
Paman Doblang! Paman Doblang!
Pesankan padanya dengan angin
kemarau
ibunya yang tua menunggu di
dangau.
Kalau lebar nganga lukanya
mulut bunda 'kan mengucupnya.
Kalau kotor warna jiwanya
ibu cuci di lubuk hati.
Cuma ibu yang bisa mengerti
ia membunuh tak dengan hati.
Kalau memang hauskan darah
manusia
suruhlah minum darah ibunya.
Paman Doblang! Paman Doblang!
Katakan, ibunya selalu berdoa.
Kalau ia 'kan mati jauh di
rimba
suruh ingat marhum bapanya
yang di sorga, di imannya.
Dan di dangau ini ibunya
menanti
dengan rambut putih dan debar
hati.
Paman Doblang! Paman Doblang!
Kalau di rimba rembulan pudar
duka
katakan, itulah wajah ibunya.
Perempuan Sial
la terbaring di taman tua
pestol di tangan dan lubang di
jidatnya
Mereka menemuinya tanpa
dukacita
dan angin bau karat tembaga.
Mulutnya menggigit berahi layu
bunga biru dan berbau.
Matanya tidak juga pejam
lain mimpi, lain digenggam.
Ah, tubuhnva! Ah, rambutnya!
Tempat tidur tersia suami tua.
Bunga bagai dia diasuh angin
oleh nasib jatuh ke riba
lelaki tua dingin.
Nizar yang menopangnva dari
kelayuan
perempuan bagai bunga, lelaki
bagai dahan.
Lelaki muda itu bertolak
tinggalkan dia
tersisa jantung dan hati dari
timah.
la terbaring di taman tua
pestol di tangan dan lubang di
jidatnva.
Suaminya yang tua berkata:
- Farida, engkau ini perempuan
sial!
Ada Tilgram Tiba Senja
(Ada tilgram tiba senja
dari pusar kota yang gila
disemat di dada bunda).
(BUNDA, LETIHKU TANDAS KE
TULANG
ANAKDA KEMBALI PULANG).
Kapuk randu! Kapuk randu!
Selembut tudung cendawan
kuncup-kuncup di hatiku
pada mengembang bemerkahan.
Dulu ketika pamit mengembara
kuberi ia kuda bapanya
berwarna sawo muda
cepat larinya
jauh perginya.
Dulu masanya rontok asam jawa
untuk apa kurontokkan air
mata?
cepat larinya
jauh perginya.
Lelaki yang kuat biarlah
menuruti darahnya
menghunjam ke rimba dan pusar
kota.
Tinggal bunda di rumah
menepuki dada
melepas hari tua, melepas
doa-doa
cepat larinya
jauh perginya.
Elang yang gugur tergeletak
elang yang gugur terebah
satu harapku pada anak
ingat 'kan pulang 'pabila
lelah.
Kecilnya dulu meremasi susuku
kini letih pulang ke ibu
hatiku tersedu
hatiku tersedu.
Bunga randu! Bunga randu!
Anakku lanang kembali
kupangku.
Darah, o, darah
ia pun lelah
dan mengerti artinya rumah.
Rumah mungil berjendela dua
serta bunga di bendulnya
bukankah itu mesra?
Ada podang pulang ke sarang,
tembangnya panjang
berulang-ulang
- Pulang ya pulang, hai
petualang!
Ketapang. Ketapang yang
kembang
berumpun di dekat perigi tua
anakku datang, anakku pulang
kembali kucium, kembali
kuriba.
Balada Ibu yang Dibunuh
Ibu musang dilindung pohon tua
meliang
bayinya dua ditinggal mati
lakinya.
Bulan sabit terkait malam
memberita datangnya
waktu makan bayi-bayinya
mungil sayang.
Matanya berkata pamitan,
bertolaklah ia
dirasukinya dusun-dusun, semak-semak,
taruhan
harian atas nyawa.
Burung kolik menyanyikan
berita panas dendam warga desa
menggetari ujung bulu-bulunya
tapi dikibaskannya juga.
Membubung juga nyanyi kolik
sampai mati tiba-tiba
oleh lengking pekik yang lebih
menggigilkan
pucuk-pucuk daun
tertangkap musang betina
dibunuh esok harinya.
Tiada pulang ia yang meski
rampas rejeki hariannya
ibu yang baik, matinya baik,
pada bangkainya gugur
pula dedaun tua.
Tiada tahu akan merataplah
kolik meratap juga
dan bayi-bayinya bertanya akan
bunda pada angin
Tenggara.
Lalu satu ketika di pohon tua
meliang
matilah anak-anak musang, mati
dua-duanya.
Dan jalannya semua peristiwa
tanpa dukungan satu dosa.
Tanpa.
Gerilya
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki terguling di jalan.
Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana.
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki terguling di jalan.
Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kasumatnya.
Gadis berjalan di subuh merah
dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya pertama.
la beri jeritan manis
dan duka daun wortel.
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki terguling di jalan.
Orang-orang kampung
mengenalnya
anak janda berambut ombak
ditimba air bergantang-gantang
disiram atas tubuhnya.
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki terguling di jalan.
Lewat gardu Belanda dengan
berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya
Ballada Lelaki yang Luka
Lelaki yang luka
biarkan ia pergi, Mama!
Akan disatukan dirinya
dengan angin gunung.
Sempoyongan tubuh kerbau
menyobek perut sepi.
Dan wajah para bunda
Bagai bulan redup putih.
Ajal! Ajal!
Betapa pulas tidurnya
di relung pengap dalam!
Siapa akan diserunya?
Siapa leluhurnya?
Lelaki yang luka
melekat di punggung kuda.
Tiada sumur bagai lukanya.
Tiada dalam bagai pedihnya.
Dan asap belerang
menyapu kedua mata.
Betapa kan dikenalnya bulan?
Betapa kan bisa menyusu dari
awan?
Lelaki yang luka
tiada tahu kata dan bunga.
Pergilah lelaki yang luka
tiada berarah, anak dari
angin.
Tiada tahu siapa dirinya
didaki segala gunung tua.
Siapa kan beri akhir padanya?
Menapak kaki-kaki kuda
menapak atas dada-dada bunda.
Lelaki yang luka
biarkan ia pergi, Mama!
Meratap di tempat-tempat sepi.
Dan di dada:
betapa parahnya.
Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo
Dengan kuku-kuku besi kuda
menebah perut burni
bulan berkhianat
gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-pucuk para
mengepit kuat-kuat lutut
penunggang perampok yang diburu
surai bau keringat basah,
jenawi pun telanjang.
Segenap warga desa mengepung
hutan itu
dalam satu pusaran
pulang-balik Atmo Karpo
mengutuki bulan betina dan
nasibnya yang malang
berpancaran bunga api, anak
panah di bahu kiri.
Satu demi satu yang maju
tersadap darahnya
penunggang baja dan kuda
mengangkat kaki muka.
- Nyawamu barang pasar, hai
orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku
jauh orang papa.
Majulah Joko Pandan! Di mana
ia?
Majulah ia kerna padanya
seorang kukandung dosa
Anak panah empat arah dan
musuh tiga silang
Atmo Karpo masih tegak, luka
tujuh liang.
- Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang
kukandung dosa.
Bedah perutnya tapi masih
setan ia
menggertak kuda, di tiap ayun
menungging kepala.
- Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang
kukandung dosa.
Berberita ringkik kuda
muncullah Joko Pandan
segala menyibak bagi derapnya
kuda hitam
ridla dada bagi derunya dendam
yang tiba.
Pada langkah pertama keduanya
sama baja
pada langkah ke tiga rubuhlah
Atmo Karpo
panas luka-luka, terbuka
daging kelopak-kelopak angsoka
Malam bagai kedok hutan bopeng
oleh luka
pesta bulan, sorak-sorai,
anggur darah.
Joko Pandan menegak, menjilat
darah di pedang
la telah membunuh bapanya.
Ballada Gadisnya Jamil, Si
Jagoan
Begitu ia masuk ke dalam kali
perawan dengan dada-dada pepaya.
Sebab kedua matanya
telah ia tatapkan pada bulan
dan terkaca pada segala
hidup bukan lagi miliknya.
- Jamil! Jamil!
Bahkan pandang terakhir
tiada aku diberinya.
Punahlah sudah punah
lelaki yang hidup dari luka.
Kerbau jantan paling liar
memberi gila di dada berbunga.
Begitu ia masuk ke dalam kali
ikan larikan kail di rabunya
di pusaran putih
segala tuba.
- Jamil! Jamil!
Amis darah di mulutnya
kukulum keraknya kini.
Jamil! jamil!
Bersuluh obor
mereka mengejarnya
setelah ia bunuh
anak lurah di pesta.
Dan tikaman paling dendam
melepas dahaga hitam
pada tubuhnya yang capai.
Si dara menatap bulan di air
didengarnya bisik arus gaib.
Begitu ia masuk ke dalam kali.
Tiada kemboja di sini
dan gagak-gagak dilekati timah
pada mata-matanya.
Lala! Nana!
Tembang malam dan duka cita!
Angin di pucuk-pucuk mangga.
Tapi siapa 'kan nyanyi
untuknya?
Ballada Sumilah
Tubuhnya lilin tersimpan di
keranda
tapi halusnya putih pergi
kembara.
Datang yang berkabar bau
kemboja
dari sepotong bumi keramat di
bukit
makan dari bau kemenyan.
Sumilah!
Rintihnva tersebar selebar
tujuh desa
dan di ujung setiap rintih
diserunya
- Samijo! Samijo!
Bulan akan berkerut wajahnva
dan angin takut nyuruki atap
jerami
seluruh kandungan malam pada
tahu
roh Surnilah meratap
dikungkung rindunya
pada roh Samijo kekasih dengan
belati pada mata.
Dan sepanjang malam terurai
riwayat duka
begini mulanya:
Bila pucuk bambu ngusapi wajah
bulan
ternak rebah dan bunda-bunda
nepuki paha anaknya
dengan kembang-kembang api
jatuh peluru meriam pertama
malam muntahkan serdadu
Belanda dari Utara.
Tumpah darah lelaki
o kuntum-kuntum delima ditebas
belati
dan para pemuda beribukan
hutan jati
tertinggal gadis terbawa
hijaunya warna sepi.
Demi hati berumahkan tanah ibu
dan pancuran tempat bercinta
Samijo berperang dan mewarnai
malam
dengan kuntum-kuntum darah
perhitungan dimulai pada mesiu
dan kelewang.
Terkunci pintu jendela
gadis-gadis tertinggal
menaikkan kain dada
ngeri mengepung hidup
hari-hari
Segala perang adalah keturunan
dendam
sumber air pancar yang merah
bebunga berwarna nafsu
dinginnya angin pucuk pelor,
dinginnya mata baja
reruntuklah sernua merunduk
bahasa dan kata adalah batu
yang dungu.
Maka satu demi satu meringkas
rumah-rumah jadi abu
dan perawan-perawan menangisi
malamnya tak ternilai
kerna musuh tahu benar arti
darah
memberi minum dari sumber
tumpah ruah
nyawanya kijang diburu
terengah-engah.
Waktu siang mentari menyadap
peluh
dengan bongkok berjalan nenek
suci Hassan Ali
di satu semak menggumpal
daging perawan
maka diserunya bersama
derasnya darah:
- Siapa kamu?
- Daku Sumilah daku mendukung
duka!
Belanda berbulu itu membongkar
pintu
dikejar daku putar-putar sumur
tapi kukibas dia.
- Duhai diperkosanva dikau
anak perawan!
- Belum lagi! Demi air daraku
merah: belum lagi!
Takutku punya dorongan tak
tersangka
tersungkur ia bersama nafsunya
ke sumur.
- O tersobek kulitmu lembut
berbungakan darah
koyak-moyak bajumu muntahkan
dadamu
lenyaplah segala kerna tiada
lagi kau punya
bunga yang terputih dengan kelopak-kelopak
sutra,
- Belum lagi! Demi air daraku
merah: belum lagi!
Demi berita noda teramat cepat
karena angin sendiri
di mulut tujuh desa terucap
Sumilah dan nodanya.
Dan demi berita noda teramat
cepat kerna angin sendiri
noda Sumilah terpahat juga di
hutan-hutan jati
lelaki-lelaki letakkan bedil
kelewang mengenangnya
dan Samijo kerahkan segenap
butir darah
lebih setan daripada segala
kerbau jantan.
Bila dukana terkaca pada bulan
keramik putih
antara bebatang jati dengan
rambut tergerai
Sumilah yang malang mendamba
Samijonya
menyuruk musang, burung gantil
nyanyikan ballada hitam.
Satu tokoh menonggak di tempat
luang
dan berseru dengan nada api
nyala:
- Berhenti! Sebut namamu!
Terhenti Sumilah serahkan diri
ke batang rebah:
- Suaramu berkabar kau Samijo,
Samijoku.
Daku Sumilah yang malang,
Sumilahmu.
- Tiada lagi kupunya Sumilah.
Sumilahku mati!
- Belum lagi, Samijo! Aku
masih dara!
Bulan keramik putih tanpa
darah
warna jingga adalah mata
Samijo
menatap ia dan menatap amat
tajamnya.
- Padamkan jingga apimu.
Padamkan!
Demi selaput sutraku lembut:
belum lagi!
Bulan keramik putih bagai
pisau cukur
sayati awan dan malam yang
selalu meratap
Samijo menatap dan menatap
amat tajamnya.
- Samijo, ambil tetesan
darahku pertama
akan terkecap daraku putih,
daramu seorang
Batang demi batang adalah
balutan kesepian
malam mengempa segala terperah
sendat napas
Samijo menatap dan menatap
amat tajamnya.
- Samijo, hentikan penikaman
pisau pandang matamu
kaubantai daku bagai najis,
mengorek dena yang tiada.
Padamlah padam kemilau yang
menuntut dari dendam.
Wama pandangnya seolah
ungkapan kutuk berkata:
- Jadilah perempuan mandul
kerna busuk rahimmu,
jadilah jalang yang ngembara
dari hampa ke dosa
aku kutuki kau demi kata putus
nenek moyang!
Tanpa omong dilepas tikaman
pandang penghabisan
lalu berpaling ia menghambur
ke jantung hutan jati
tertinggal Sumilah digayuti
koyak-moyaknya.
Sedihlah yang bercinta kerna
pisah
lebih sedihlah bila noda
terbujur antaranya
dan segalanya itu tak 'kan
padam.
Kokok avam jantan esoknya
bukanlah tanda menang
adalah ratap yang juga terbawa
oleh kutilang
karena warga desa jumpai mayat
Samijo
nemani guguran talok depan
tangsi Belanda.
Merataplah semua meratap
kerna yang mati menggenggam
dendam
di katup rahang adalah
kenekatan linglung tersia.
Kerna dendamnya siksa
airmatanya terus kembara
menatap kehadiran Sumilah,
dinginnya tanpa percaya
dan Sumilah jadi gila terkempa
dada oleh siksa
gadis begitu putih jumpai
ajalnya di palung sungai.
Sumilah! Sumilah!
Tubuhnya lilin tersimpan di
keranda
tapi halusnya putih pergi
kembara
rintihnya tersebar selebar
tujuh desa
dan di ujung setiap rintih
diserunya:
- Samijo! Samijo!
Matamu tuan begitu dingin dan
kejam
pisau baja yang mengorek noda
dari dada
dari tapak tanganmu angin
napas neraka
mendera hatiku berguling lepas
dari rongga
bulan jingga, telaga kepundan
jingga
ranting-ranting pokok ara
terbencana darahku segala
jingga
Hentikan, Samijo! Hentikan, ya
Tuan!
Sumber:Data buku kumpulan
puisi
Judul : Ballada Orang-orang
Tercinta
Penulis : Rendra
Cetakan : VII, 1993 (Cet. I,
1957)
Penerbit : PT. Dunia Pustaka
Jaya, Jakarta (mulai cet. II, 1971)
Tebal : 52 halaman (19 judul
puisi)
ISBN : 979-419-004-7
Gambar jilid : Jean Kharis