Kumpulan Puisi -Puisi Taufiq
Ismail
Kumpulan Puisi -Puisi Taufiq Ismail. Tentang Taufiq Ismail, Dilahirkan di Bukittinggi (25 Juni 1937) dan dibesarkan di Pekalongan, ia tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor pada 1963. Kumpulan Puisi al. Tirani, Benteng, Manifestasi (bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad), Puisi-puisi Sepi (1970), Kota, Pelabuhan, Jagung, Angin dan Langit (1971), dan Malu Aku Jadi Orang Indonesia. Judul : Malu (Aku) Jadi Orang
Indonesia, Penulis : Taufiq Ismail, Cetakan : II, 2000 (cet. I. November
1998?), Penerbit : Yayasan Indonesia, Jakarta, Tebal : xvi + 208 halaman (102
puisi), Kulit Muka: AdWork!, Vignet: Ipe Ma’aruf, ISBN : 979-8424-04-2, Prolog
: Dr. Kuntowijoyo
Kunjungi juga:
Takut ‘66, Takut ‘98
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa.
1998
12 Mei, 1998
Mengenang elang Mulya, Hery
Hertanto,
Hendriawan Lesmana dan
Hafidhin Royan
Empat syuhada berangkat pada
suatu malam, gerimis air mata
tertahan di hari keesokan,
telinga kami lekapkan ke tanah kuburan
dan simaklah itu sedu-sedan,
Mereka anak muda pengembara
tiada sendiri, mengukir reformasi
karena jemu deformasi,
dengarkan saban hari langkah sahabat-
sahabatmu beribu menderu-deru,
Kartu mahasiswa telah disimpan
dan tas kuliah turun dari bahu.
Mestinya kalian jadi insinyur
dan ekonom abad dua puluh satu,
Tapi malaikat telah mencatat
indeks prestasi kalian tertinggi di
Trisakti bahkan di seluruh
negeri, karena kalian berani
mengukir alfabet pertama dari
gelombang ini dengan
darah arteri sendiri,
Merah putih yang setengah
tiang ini, merunduk di bawah garang
matahari, tak mampu
mengibarkan diri karena angin lama
bersembunyi,
Tapi perluru logam telah kami
patahkan dalam doa bersama, dan
kalian pahlawan bersih dari
dendam, karena jalan masih
jauh dan kita perlukan peta
dari tuhan.
1998
Tentang Joki Jam Sembilan Pagi
Beras berkata kepada saya,
bahwa kacang kedele dan kelapa sawit, ayam daging, sapi inseminasi, ikan laut,
dan ikan daratan, semua dalam keadaan segar bugar tidak kurang suatu apa. Dia
tidak menyebut mengenai apa yang dihasilkan hutan yang lama terbakar dan saya
lupa pula menanyakannya,
Mesin giling menelponku
baru-baru ini, bilang bahwa industri elektronika, komponen cip, kimia dasar,
seluloid, otomotif, telekomunikasi, alat-alat berat, kereta api, kapal laut an
kapal terbang dalam situasi menyenangkan dan sehat-sehat. Dia tidak berkisah
tentang orang-orang yang berhasil menggerek lobang-lobang besar di bawah lantai
bank dan rasanya aku sudah tahu jalan ceritanya,
Aspal bertanya kepada saya apa
hubungan semua ini dengan kesenian. Seorang anak kecil yang jadi joki jam
sembilan pagi di jalan Thamrin cepat menjawab, “oom aspal, kesenian itu bagian
dari kebudayaan, ekonomi bagian dari kebudayaan, sehinggamengacungkan jari di
tepi jalan seperti saya ini juga bentuk seni, agar saya dapat uang seribu
sebagai joki untuk mendapat ekonomi.”
“Anak bijak, siap gerangan
namamu?” tanya saya.
“Ronggowarsito,” jawabnya
segera
“Ah, kamu,” kata saya. Dia
bersiul-siul.
“Siapa namamu?”
“Ronggowarsito,” jawabnya
pelan. Dia bersiul-siul, lalu mengumam lagu.*)
Jaman Edan
Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya keduman melik
Kaliren wekasanipun
Dilalah kersaning Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lan
waspada
Zaman Edan
Hidup di zaman edan
Suasana jadi serba sulit
Ikut edan tak tahan
Tak ikut
Tak kebagian
Malah dapat kesengsaraan
Begitulah kehendak Allah
Sebahagia-bahagia orang lupa
Lebih bahagia orang sadar dan
waspada
Kemudian saya berjalan dengan
sahabatku Ronggo mengurus bisnis ke Sudirman Central Business District,
menyeberang ke Panin Centre, masuk ke Parkview Apartment, mencari logo di
Jakarta Design Centre, lalu Ronggo minum milk shake dan aku makan banana split
di Pondok Indah Mall, memikirkan keuangan dunia di Jakarta Stock Exchange
Building, makan angin di Royal Sentul Highland, memeriksakan mata di Jakarta
Eye Centre, mencari kontrakan rumah di Luxury California Town Houses, kemudian
mandi-mandi di Lido Lake Resort. Edan.
Kemudian saya berjalan dengan
sahabatku Ronggo ke pekuburan di pinggiran kota, suram berkabut suasananya,
kambojanya kering-kering kulit dahannya, rumpun bambunya gemersik ditegur angin
yang kurang bersemangat melakukan tiupannya, aneh aku berpikir tentang di mana
gerangan mahkamah pengadilan ketika melihat nisan berjajar, ada yang bertulisan
R.I.P., ada yang berkaligrafi alif-lam-wau-alif-lam-ra, dan kubaca nama Abadi,
Pedoman, Indonesia Raya, KAMI, Sinar Harapan, Prioritas, Tempo, editor, DeTik.
Di mana alamat mahkamah pengadilan, berapa nomor teleponnya dan tolong beri
saya nomo faksimilenya? Edan.
Lalu saya mengingat Perburuan,
Mastodon dan Burung Kondor, Wasdri, Sam Pek Eng Tay, Opera Kecoa, Pak Kanjeng,
Demi Orang-orang Rangkasbitung, dan demikian panjang daftar pencekalan, yang
penjelasannya pada satu meja berbunyi A, di meja lain A-aksen, di meja
berikutnya A-dua aksen. Edan.
Kemudian debu Galunggung,
Kedung Ombo, SDSB, Gamalama, Liwa, Nipah, Timor Timur, Marsinah yang masuk
kubur, keluar kubur dan masuk kubur lagi, Palestina, Bosnia, Chechnya yang
tiada reda-redanya. Edan.
Memasuki mesin waktu saya
berlari bersama sahabatku Ronggo menghindari badai prahara yang memutar
suasana, menjepit dan menggencet semua. Mereka mengejar-ngejar orang, melarang
buku, merampoki perpustakaan, menimbun dan membakari buku, memaksakan ideologi
seni, membabat penerbit independen dan membawa panji tujuan menghalalkan cara.
Kemudian prahara reda, orang-orang bekerja, tapi ada juga yang mencoba
membengkokkan sejarah dan bila diluruskan kembali, ini disebut membalas dendam.
Edan.
Mas Ronggo, selamat jalan. Dia
melengkapi kendaraan 3-dalam-1. Mas Ronggo, selamat jalan mengais nafkah yang
jernih dan bersih …
***
Sesudah melambai Mas Ronggo
saya termangu di pekarangan Cikini Raya 73. Setiap bentuk seni punya masalah
yang tak kunjung usai dan selesai. Film makin jauh dari cita-cita menjadi tuan
rumah di negeri sendiri, serbuan medium televisi telah mengguncang negeri, seni
rupa belum punya Galeri Seni Rupa Nasional, pencekalan kambuhan pementasan
teater masih terasa, dikotomi tari daerah dan nasional, musik yang terus
mencari dan mencari, dan sastra yang jalan di tempat. Pendidikan tinggi
kesenian tak putus-putus mencoba menemukan bentuknya yang tepat guna. Sekeping
potret sesaat perlu, tapi tidak sepatutnya kita dibelenggu daftar keluhan,
karena modal kita, yaitu cita-cita bersama, masih ada.
Pidato kesenian ini tidak
menuliskan resep manjur untuk pelaksanaan praktikal, dia cuma merangsang
beberapa dahan perasaan dan fikiran lewat bentuk puisi. Dia menegaskan akar
Indonesia dalam tahun ke-50 usia negeri ini. Dia mencoba mengingatkan bahwa
dalam gelombang besar materialisme, keserakahan dan rasa tak acuh pada
penderitaan manusia di dunia ini, pemberhalaan terhadap apa pun ditolak.
Kesenian kita adalah kesenian yang bermanfaat bagi manusia serta lingkungannya
dalam dataran bumi, dan bermakna maksimum dalam garis tegak lurus menuju Yang
Maha Pencipta Keindahan. Dalam pelaksanaan kesenian seniman tidak dapat
mengasing duduk mencangkung di sebuah pulau alit, atau berjalan sendiri tanpa
mengindahkan siapa-siapa. Dia percaya pada bentuk kerjasama dan selalu
menghargainya. Dia memerlukan kemerdekaan kreatif, dan untuk itu dia tahu bahwa
akan ada kemungkinan benturan. Dia percaya pada hati nuraninya dan yakin pada
kekuatan doa. Perasaannya akrab dan lekat pada orang-orang malang dan
berkekurangan. Seninya adalah untuk mengingatkan.
1995
*) Abad 19, Bait ketujuh Serat
Kalatida, terjemahan Slamet Sukirnanto
Malu (Aku) Jadi Orang
Indonesia
I
Ketika di Pekalongan, SMA
kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat
beasiswa
Sembilan belas lima enam
itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi
Indonesia
Negeriku baru enam tahun
terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka
dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas
Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi
Indonesia
Dia mengarang tentang
pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh
utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak
Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West
Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice
University
Dia sudah pensiun perwira
tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku
berdiri
Mengapa sering benar aku
merunduk kini
II
Langit langit akhlak rubuh, di
atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong
berderak-derak
Berjalan aku di Roxas
Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue,
Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs
Elysees dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku
berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di
kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
III
Di negeriku, selingkuh
birokrasi peringkatnya di dunia nomor
satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis
dan birokrasi berterang-terang
curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak
perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah,
paman dan kakek secara
hancur-hancuran seujung kuku
tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian
alat-alat besar, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal
selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk
kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak
presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen
dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen, dan
dirjen sejati, agar
orangtua mereka bersenang
hati,
Di negeriku penghitungan suara
pemilihan umum sangat-
sangat-sangat-sangat-sangat
jelas penipuan besar-
besaran tanpa seujung rambut
pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat
kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya
bersilang tak habis dan tak
putus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar
pedagang jelata supaya berdiri pusat
belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah
jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka
punya jenazah, sekarang
saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan
pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan
diinjak dan dilunyah
lumat-lumat,
Di negeriku keputusan
pengadilan secara agak rahasia dan tidak
rahasia dapat ditawar dalam
bentuk jual-beli, kabarnya
dengan sepotong SK suatu hari
akan masuk Bursa Efek
Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada
karena dua puluh pungutan, lima
belas ini-itu tekanan dan
sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak
disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah
bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah
naik tingkat jadi pertunjukan teror
penonton antarkota cuma karena
sebagian sangat kecil
bangsa kita tak pernah
bersedia menerima skor
pertandingan yang disetujui
bersama,
Di negeriku rupanya sudah
diputuskan kita tak terlibat Piala
Dunia demi keamanan
antarbangsa, lagi pula Piala
Dunia itu cuma urusan
negara-negara kecil karena Cina,
India, Rusia dan kita tak
turut serta, sehingga cukuplah
Indonesia jadi penonton lewat
satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan,
penculikan dan penyiksaan rakyat
terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur
Koneng, Nipah, Santa Cruz,
Irian dan Banyuwangi, ada pula
pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta
terang-terangan di bawah
cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah
dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia
di dalam kitab masih ada, tapi dalam
kehidupan sehari-hari bagai
jarum hilang menyelam di
tumpukan jerami selepas menuai
padi.
IV
Langit akhlak rubuh, di atas
negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong
berderak-derak
Berjalan aku di Roxas
Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue,
Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs
Elysees dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku
berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di
kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
1998
Doa Orang Kubangan
di hilir pemandian masih saja
Kau sediakan logam mulia sebagai pancuran dan bejana platina bergagang emas
tempat kami membasuh getah membilas dahak menguliti lendir mengikis selaput
nanah menyadap barah ludah yang bertetesan berguguran berserakan di genangan
yang jadi kubangan menggerakkan cairan isi lambung bertukak insisi pada hepar
dijerat lemak dengan aroma yang menggilas dedaunan jadi kuning kering
berguguran dan bermilyar insekta bunuh diri bersama
kami pun sejadi-jadi mandi,
serasa untuk terakhir kali
setiap kerak lumpur gugur
penyesalan macam cengkeram dengan sembilu seribu
ada kultus dinyanyikan ada
kultus berbayang-bayang ada pula tiada mana kentara beda lumpur selutut atau
luluk bepercikan telah ke tangan dan muka
dan bejana ini kami tating bersama
ada hangat air dari mata dan telapak kaki bergerak ke hulu terasa sejuk penuh
di atas lantai pualam pemandian dengan air pancuran hening bening bercucuran.
1998
Sajadah Panjang
Ada sajadah panjang terbentang
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan sujud
Di atas sajadah yang panjang
ini
Diselingi sekedar interupsi
Mencari rezeki, mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara azan
Kembali tersungkur hamba
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan rukuk
Hamba sujud dan tak lepas
kening hamba
Mengingat Dikau
Sepenuhnya.
1984
(dinyanyikan Himpunan Musik
Bimbo)
Pegawai Negeri
Setiap kami menyaksikan
berbagai penghargaan diberikan
Di istana negara, dalam
macam-macam upacara
Satu saja yang tak tampak di
layar kaca
Penyerahan medali dan
selempang warni-warna pada
Pegawai Negeri
Paling Jujur
Tahun Ini
Wakil dari mereka yang tak
pernah kecukupan dalam rezeki
Wakil dari mereka yang sudah
luluh dalam keluh
Anak-anak berlahiran juga,
nafkah selalu payah
Dalam pemilihan umum selalu
diancam macam-macam
Tak pandai ngobyek, tak
disertakan dalam proyek
Dalam kalkulasi hidup mana
pernah bisa cukup
Tapi ajaib tak sampai
terdengar bergeletakan kelaparan
Ada saja jalan keluar yang
meringankan beban
Anak-anak pun tahu diri orang
tua pegawai negeri
Susah payah sekolah dan
kuliah, dan kok ya jadi
Insinyur, dokter, pengacara,
S-dua dan Pi-Eic-Di
Lumayanlah, walau tak sangat
banyak barangkali
Apabila di dunia ada tujuh
macam keajaiban
Maka fenomena pegawai negeri
sini mesti yang ke delapan
Menurut teori mutakhir
administrasi dan metoda renumerasi
Mestinya di awal karier dulu
dari dunia sudah permisi
Memang ada yang terlibat
proyek dan bersiram komisi
Tapi itu ‘kan jumlahnya
terbatas sekali, yakni
Mereka yang berkerumun di
sekitar keran pembangunan
Selebihnya hidup rutin ya
begitu itu
Dan pastilah ada juga yang
jujur secara sejati
Yang membuat lentur
tegang-kakunya prosedur
Bukan mempersukar-sukar,
justru memudahkan urusan
Yang betul-betul melayani
rakyat, bukan budak kekuasaan
Yang susah payah istikomah di
dalam kehalalan rezeki
Yang menahankan pedihnya susah
nafkah
Yang masih saja bisa bertahan
dilanda arus materi
Mereka tak tampak oleh mata
kami
Mereka bukan tipe
mengeluh-mengadu ke sana ke mari
Mungkin karena maqamnya sudah
mirip orang sufi
Siapa tahu mereka lah sebenar
penyangga struktur ini
Yang begitu lapuk rayap dan
roboh sudah mesti
Tapi sampai sekarang masih
juga berdiri
Mereka sungguh kami hormati
Terutama para guru yang begitu
sabar menyebar ilmu
Dan semua yang berdedikasi
sejati di struktur birokrasi
Masih tetap bertahan diterjang
gelombang hidup serba materi
Kalian tidak nampak, karena
memang merundukkan diri.
1998
Lonceng Tinju
Setiap kali lonceng berkleneng
Tanda putaran dimulai
Setiap kali mereka bangkit
Dan mengepalkan tinju
Setiap teriakan histeria
Bergemuruh suaranya
Aku kelu
Dan merasa di pojok
Sendirian
Setiap lonceng berklenengan
Dan tinju mulai berlayangan
Meremuk kepala lawan
Terkilas dalam ingatan
Nenekku dulu berkata
“Jangan kamu mengadu ayam”
Dan bila aku menuntut ilmu
Di Kedokteran Hewan
Guruku menasihatkan
“Jangan kamu mengadu hewan”
Kini lagi, bel itu
berklenengan
Aku tersudut, bisu
Dan makin merasa
Sendirian
1987
London, Abad Sembilan Belas
1
Pada ronde ke-99 yang
berdarah-darah
Petinju Simon Byrne selesai
sudah
Dia mati memuaskan penontonnya
Tinju maut Si Tuli James Burke
Diacung-acungkan wasit
Para penonton berteriak
gembira
Polisi Inggeris datang
bertugas
Peraturan langsung menjerat
kedua tangannya
Tapi anehnya dia dibebaskan,
tak lama
Inilah ejekan pada undang-undang
Walau pun ada manusia masih
terlarang
Putusan pengadilan bisa
diperjual-belikan
2
Lalu tengoklah
berbondong-bondong penonton
Naik kereta api dari Setasiun
Jambatan London
Menuju tempat rahasia, 25 mil
jauhnya
Inilah pertandingan pertama
antarbangsa
Tom Sayers juara Britania
Diadu John Heenan jagoan
Amerika
Sastrawan Dickens dan
Thackeray menonton juga
Sesudah 42 putaran adu manusia
Keduanya berdarah-darah,
lebam, habis daya
Tak berketentuan wasit apa
keputusannya
Para penonton berteriak dalam
histeria
Mengacung-acungkan tinju ke
udara
Polisi melakukan interupsi
Para juri dipisuhi, wasit
dimaki-maki
Penonton-penonton tak puas
jadi buas
Mereka lalu bertinju sesama
mereka
Mereka bergigitan seperti
serigala
Melolong bagai gorila
Pertunjukan jadi lengkap
Dan lumayan biadab
3
Itulah adegan abad sembilan
belas
Asal-usul adu manusia yang
kita tidak tahu
Tapi ujungnya kita tiru-tiru
Sebagai bangsa minder apa saja
dari Eropa dan Amerika
Seperti kawanan bebek diturut
dan ditirukan saja
Sudah jelas ini adu manusia
mereka bilang olahraga
Seperti kambing mengembik kita
setuju pula
Inilah budaya tanpa pikir kita
jiplak begitu saja
Dari abad 19 orang masuk ke
abad 20
Di awal abad, adu manusia di
sana dilarang undang-undang
Tapi pemilik modal si orang
kaya membeli undang-undang
Disobek dicincang itu dokumen
undang-undang
Sebagai sampah hukum masuk
keranjang
Adu manusia jadi tidak lagi
terlarang
Lengkaplah bagian biadab
budaya barat
Yang garang, bringasan dan
tamak pada uang
Menjalar ke negeri sini,
ditiru dan diulang-ulang
Sudahlah minder, ditambah
gebleg, kita tak kepalang
4
Pada hari ini akhir abad dua
puluh
Kakiku satu sudah masuk abad
dua puluh satu
Kita ketemu
Kau ajak aku balik ke abad
sembilan belas
Lho tapi, kita ‘kan mau
menembus abad 21
Kenapa kau bujuk aku balik ke
abad 19 lagi
Mana aku mau
Tapi kau berkeras balik kanan
juga
Kau tetap mau ditipu, adu
manusia itu olahraga
Kau menanam bibit kekerasan
dan kebringasan
Sudah berapa puluh tahun
jangka waktunya
Kau sudah panen lama kau mana
tahu itu
Bibitmu tumbuh, menyebar dan
membesar
Karena kau rabun mana bisa itu
kau baca
Ke masyarakatmu tak pernah kau
berkaca
Dan kau berkeras balik kanan
juga
Kau tak tahu sudah kusiapkan
tali rafia biru
Diam-diam kuikat kedua
pergelangan tanganmu
Kuseret kau masuk abad 21
Masih saja kau berteriak tak
tahu malu
“Tidak mau! Tidak mau!”
Tengoklah anak-anak yang
berpikir itu
Mereka terheran-heran melihat
kamu.
1989
Pelajaran Tatabahasa dan
Mengarang
“Murid-murid, pada hari Senin
ini
Marilah kita belajar
tatabahasa
Dan juga sekaligus berlatih
mengarang
Bukalah buku pelajaran kalian
Halaman enam puluh sembilan
“Ini ada kalimat menarik hati,
berbunyi
‘Mengeritik itu boleh, asal
membangun’
Nah anak-anak, renungkanlah
makna ungkapan itu
Kemudian buat kalimat baru
dengan kata-katamu sendiri.”
Demikianlah kelas itu sepuluh
menit dimasuki sunyi
Murid-murid itu termenung
sendiri-sendiri
Ada yang memutar-mutar pensil
dan bolpoin
Ada yang meletakkan ibu jari
di dahi
Ada yang salah tingkah, duduk
gelisah
Memikirkan sejumlah kata yang
bisa serasi
Menjawab pertanyaan Pak Guru
ini
“Ayo siapa yang sudah siap?”
Maka tak ada seorang
mengacungkan tangan
Kalau tidak menunduk sembunyi
dari incaran guru
Murid-murid itu saling
berpandangan saja
Akhirnya ada seorang disuruh
maju ke depan
Dan dia pun memberi jawaban
“Mengeritik itu boleh, asal
membangun
Membangun itu boleh, asal
mengeritik
Mengeritik itu tidak boleh,
asal tidak membangun
Membangun itu tidak asal,
mengeritik itu boleh tidak
Membangun mengeritik itu boleh
asal
Mengeritik membangun itu asal
boleh
Mengeritik itu membangun
Membangun itu mengeritik
Asal boleh mengeritik, boleh
itu asal
Asal boleh membangun, asal itu
boleh
Asal boleh itu mengeritik
boleh asal
Itu boleh asal membangun asal
boleh
Boleh itu asal
Asal itu boleh
Boleh boleh
Asal asal
Itu itu
Itu.”
“Nah anak-anak, itulah karya
temanmu
Sudah kalian dengarkan ‘kan
Apa komentar kamu tentang
karyanya tadi?”
Kelas itu tiga menit dimasuki
sunyi
Tak seorang mengangkat tangan
Kalau tidak menunduk di muka
guru
Murid-murid itu cuma
berpandang-pandangan
Tapi tiba-tiba mereka bersama
menyanyi:
“Mengeritik itu membangun
boleh asal
Membangun itu mengeritik asal
boleh
Bangun bangun membangun kritik
mengeritik
Mengeritik membangun asal
mengeritik
“Dang ding dung ding dang ding
dung
Ding dang ding dung
Dang ding dung ding dang ding
dang
Ding dang ding dung.”
“Anak-anak, bapak bilang tadi
Mengarang itu harus dengan
kata-kata sendiri
Tapi tadi tidak ada kosa kata
lain sama sekali
Kalian cuma mengulang
bolak-balik yang itu-itu juga
Itu kelemahan kalian yang
pertama
Dan kelemahan kalian yang
kedua
Kalian anemi referensi dan
melarat bahan perbandingan
Itu karena malas baca buku
apalagi karya sastra.”
“Wahai Pak Guru, jangan kami
disalahkan apalagi dicerca
Bila kami tak mampu
mengembangkan kosa kata
Selama ini kami ‘kan diajar
menghafal dan menghafal saja
Mana ada dididik mengembangkan
logika
Mana ada diajar berargumentasi
dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah membaca
buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama
sekali
Mata kami rabun novel, rabun
cerpen, rabun drama dan rabun puisi
Tapi mata kami ‘kan nyalang
bila menonton televisi.”
1997
Palestina, Bagaimana Aku
Melupakanmu
Ketika rumah-rumahmu
diruntuhkan bulldozer dengan suara gemuruh
menderu, serasa pasir dan batu
bata dinding kamartidurku
bertebaran di pekaranganku,
meneteskan peluh merah dan
mengepulkan debu yang
berdarah.
Ketika luasan perkebunan
jerukmu dan pepohonan apelmu dilipat-lipat
sebesar saputangan lalu di Tel
Aviv dimasukkan dalam fail lemari
kantor agraria, serasa kebun
kelapa dan pohon manggaku di kawasan
khatulistiwa, yang dirampas
mereka.
Ketika kiblat pertama mereka
gerek dan keroaki bagai kelakuan reptilia bawah
tanah dan sepatu sepatu
serdadu menginjaki tumpuan kening kita
semua, serasa runtuh lantai
papan surau tempat aku waktu kecil
belajar tajwid Al-Qur’an 40
tahun silam, di bawahnya ada kolam ikan
yang air gunungnya bening
kebiru-biruan kini ditetesi
air
mataku,
Palestina, bagaimana bisa aku
melupakanmu,
Ketika anak-anak kecil di Gaza
belasan tahun bilangan umur mereka,
menjawab laras baja dengan
timpukan batu cuma, lalu dipatahi
pergelangan tangan dan
lengannya, siapakah yang tak menjerit serasa
anak-anak kami Indonesia jua
yang dizalimi mereka – tapi saksikan
tulang muda mereka yang patah
akan bertaut dan mengulurkan
rantai amat panjangnya,
pembelit leher lawan mereka, penyeret
tubuh si zalim ke neraka.
Ketika kusimak puisi-puisi
Fadwa Tuqan, Samir Al-Qassem, Harun Hashim
Rashid, Jabra Ibrahim Jabra,
Nizar Qabbani dan seterusnya yang
dibacakan di Pusat Kesenian
Jakarta, jantung kami semua berdegup
dua kali lebih gencar lalu
tersayat oleh sembilu bambu deritamu,
darah kamipun memancar ke atas
lalu meneteskan guratan kaligrafi
‘Allahu Akbar!’
dan
‘Bebaskan Palestina!’
Ketika pabrik tak bernama 1000
ton sepekan memproduksi dusta,
menebarkannya ke media cetak
dan elektronika, mengoyaki
tenda-tenda pengungsi di
padang pasir belantara,
membangkangi resolusi-resolusi
majelis terhormat di dunia,
membantai di Shabra dan
Shatila, mengintai Yasser Arafat,
Ahmad Yassin dan semua pejuang
negeri anda, aku pun
berseru pada khatib dan imam
shalat Jum’at sedunia: doakan
kolektif dengan kuat seluruh
dan setiap pejuang yang
menapak jalanNya, yang
ditembaki dan kini dalam penjara,
lalu dengan kukuh kita bacalah
‘la quwwatta illa bi-Llah!’
Palestina, bagaimana bisa aku
melupakanmu
Tanahku jauh, bila diukur
kilometernya, beribu-ribu
Tapi azan Masjidil Aqsha yang
merdu
Serasa terngiang-ngian di
telingaku.
1989
Air Kopi Menyiram Hutan
Tiga juta hektar
Halaman surat kabar
Telah dirayapi api
Terbit pagi ini
Panjang empat jari
Dua kolom tegaklurus
Dibongkar dari pik-ap
Subuh dari percetakan
Ditumpuk tepi jalan
Dibereskan agen koran
Sebelum matahari dimunculkan
Dilempar ke pekarangan
Dipungut oleh pelayan
Ditaruh di mejamakan
Ditengok secara sambilan
Dasi tengah diluruskan
Rambut isteri kekusutan
Empat anak bersliweran
Pagi penuh kesibukan
Selai di ujung tangan
Roti dalam panggangan
Ketika tangan bersilangan
Kopi tumpah di bacaan
Menyiram tigajutahektar koran
Dua kolom kepanjangan
Apipadam menutup hutan
Koranbasah dilipat empat
Keranjang plastik anyaman
Tempat dia dibuangkan
Tepat pagi itu
Jam setengah delapan.
1988
Beri Daku Sumba
di Uzbekistan, ada padang
terbuka dan berdebu
aneh, aku jadi ingat pada Umbu
Rinduku pada Sumba adalah
rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api
di atas sana
Rinduku pada Sumba adalah
rindu peternak perjaka
Bilamana peluh dan tenaga
tanpa dihitung harga
Tanah rumput, topi rumput dan
jerami bekas rumput
Kleneng genta, ringkik kuda
dan teriakan gembala
Berdirilah di pesisir,
matahari ‘kan terbit dari laut
Dan angin zat asam panas
dikipas dari sana
Beri daku sepotong daging
bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossa
nova dan tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika,
kering tanpa hujan ratusan hari
Beri daku ranah tanpa pagar,
luas tak terkata, namanya Sumba
Rinduku pada Sumba adalah
rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki
bukit-bukit yang jauh
Sementara langit bagai kain
tenunan tangan, gelap coklat tua
Dan bola api, merah padam,
membenam di ufuk teduh
Rinduku pada Sumba adalah
rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari bagai bola
api, cuaca kering dan ternak melenguh
Rinduku pada Sumba adalah
rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki
bukit-bukit yang jauh.
1970
Syair untuk Seorang Petani
dari Waimital, Pulau Seram, yang pada hari ini pulang ke Almamaternya
I
Dia mahasiswa tingkat terakhir
ketika di tahun 1964 pergi ke
pulau Seram
untuk tugas membina masyarakat
tani di sana.
Dia menghilang
15 tahun lamanya.
Orangtuanya di Langsa
memintanya pulang.
IPB memanggilnya
untuk merampungkan studinya,
tapi semua
sia-sia.
II
Dia di Waimital jadi petani
Dia menyemai benih padi
Orang-orang menyemai benih
padi
Dia membenamkan pupuk di bumi
Orang-orang membenamkan pupuk
di bumi
Dia menggariskan strategi
irigasi
Dia menakar klimatologi hujan
Orang-orang menampung curah
hujan
Dia membesarkan anak cengkeh
Orang kampung panen raya kebun
cengkeh
Dia mengukur cuaca musim
kemarau
Orang-orang jadi waspada makna
bencana kemarau
Dia meransum gizi sapi Bali
Orang-orang menggemukkan sapi
Bali
Dia memasang fondasi tiang
lokal sekolah
Orang-orang memasang dinding
dan atapnya
Dia mengukir alfabet dan mengamplas
angka-angka
Anak desa jadi membaca dan
menyerap matematika
Dia merobohkan kolom gaji dan
karir birokrasi
Kasim Arifin, di Waimital
Jadi petani.
III
Dia berkaus oblong
Dia bersandal jepit
Dia berjalan kaki
20 kilometer sehari
Sesudah meriksa padi
Dan tata palawija
Sawah dan ladang
Orang-orang desa
Dia melintas hutan
Dia menyeberang sungai
Terasa kelepak elang
Bunyi serangga siang
Sengangar tengah hari
Cericit tikus bumi
Teduh pohonan rimba
Siang makan sagu
Air sungai jernih
Minum dan wudhukmu
Bayang-bayang miring
Siul burung tekukur
Bunga alang-alang
Luka-luka kaki
Angin sore-sore
Mandi gebyar-gebyur
Simak suara azan
Jamaah menggesek bumi
Anak petani diajarnya
Logika dan matematika
Lampu petromaks bergoyang
Angin malam menggoyang
Kasim merebah badan
Di pelupuh bambu
Tidur tidak berkasur.
IV
Dia berdiri memandang
ladang-ladang
Yang ditebas dari hutan rimba
Di kakinya terjepit sepasang
sandal
Yang dipakainya sepanjang
Waimital
Ada bukit-bukit yang dulu lama
kering
Awan tergantung di atasnya
Mengacungkan tinju kemarau
yang panjang
Ada bukit-bukit yang kini
basah
Dengan wana sapuan yang indah
Sepanjang mata memandang
Dan perladangan yang sangat
panjang
Kini telah gembur, air pun
berpacu-pacu
Dengan sepotong tongkat besar,
tiga tahun lamanya
Bersama puluhan transmigran
Ditusuk-tusuknya tanah kering
kerontang
Dan air pun berpacu-pacu
Delapan kilometer panjangnya
Tanpa mesin-mesin, tiada
anggaran belanja
Mengairi tanah 300 hektar
luasnya
Kulihat potret dirimu, Sim,
berdiri di situ
Muhammad Kasim Arifin, di
sana,
Berdiri memandang
ladang-ladang
Yang telah dikupasnya dari
hutan rimba
Kini sekawanan sapi Bali
mengibas-ngibaskan ekor
Di padang rumput itu
Rumput gajah yang gemuk-gemuk
Sayur-sayuran yang subur-subur
Awan tergantung di atas pulau
Seram
Dikepung lautan biru yang amat
cantiknya
Dari pulau itu, dia telah
pulang
Dia yang dikabarkan hilang
Lima belas tahun lamanya
Di Waimital Kasim mencetak
harapan
Di kota kita mencetak keluhan
(Aku jadi ingat masa kita
diplonco
Dua puluh dua tahun yang lalu)
Dan kemarin, di tepi kali
Ciliwung aku berkaca
Kulihat mukaku yang keruh dan
leherku yang berdasi
Kuludahi bayanganku di air itu
karena rasa maluku
Ketika aku mengingatmu, Sim
Di Waimital engkau mencetak
harapan
Di kota, kami …
Padahal awan yang tergantung
di atas Waimital, adalah
Awan yang tergantung di atas
kota juga
Kau kini telah pulang
Kami memelukmu.
1979
Catatan: Bagian IV puisi ini
saya bacakan pada hari wisuda Institut Pertanian Bogor di kampus Darmaga,
Sabtu, 22 September 1979, sesudah M. Kasim Arifin menerima gelar Insinyur
Pertanian. Sebelumnya, Kasim yang sudah 15 tahun dikabarkan hilang, tapi
ternyata menanam akar di Waimital enggan memenuhi panggilan Rektor Prof. Dr.
Ir. Andi Hakim Nasoetion. Pada kali ketiga kedatangan utusan Rektor, yaitu
sahabatnya Saleh Widodo, baru Kasim mau datang ke Bogor. Dia terharu karena
penghargaan alma maternya, tapi pada hakekatnya dia tidak memerlukan gelar
akademik. Pada hari wisuda itu Kasim yang berbelas tahun berkaus oblong dan bersandal
jepit saja, kegerahan karena mengenakan jas, dasi dan sepatu, hadiah patungan
sahabat-sahabatnya.
Mahasiswa-mahasiswa IPB
mengerumuninya selalu dan mengaguminya sebagai teladan keikhlasan pengamalan
ilmu pertanian di pedesaan. Berbagai tawaran pekerjaan disampaikan padanya,
tapi dia kembali lagi ke desa Waimital sesudah wisuda. Baru sesudah itu dia
menerima pekerjaan sebagai dosen di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, di
tanah asalnya. Tawaran meninjau pertanian di Amerika Serikat ditolaknya. Ketika
ditanya kenapa kesempatan jalan-jalan ke A.S. itu tak diterimanya, sambil
tertawa Kasim berkata bahwa pertama-tama jangankan bahasa Inggeris, bahasa
Indonesianya saja sudah banyak lupa. Kemudian yang penting lagi, katanya, apa
manfaatnya meninjau pertanian di sana, yang berbeda sekali dengan pertanian
kita di sini. Kesempatan meninjau sambil liburan tamasya ke A.S. itu tak
menarik hatinya.
Sejarum Peniti, Sepunggung
Gunung
Puisi punya kepentingan besar
terhadap bertrilyun daunan yang terpasang
tepat dan rimbun pada
pepohonan
pada bermilyar pepohonan yang
terpancang rapi
di permukaan bukit,
pegunungan, lembah dan dataran pantai
Yang dialiri beratus juta
kilometer kubik
air berbentuk padat,cair dan
gas
dalam gerakan dinamik yang kau
tak habis kagumi ruwetnya:
tegak lurus dari atas ke
bawah, tegak lurus dari bawah ke atas
miring terjal miring landai,
beringsut dari kiri ke kanan,
bergulir dari kanan ke kiri
menembus permukaan daun,
meluncuri serat-serat kayu
mendaki akar, menaiki elevator
serambut
yang tersusun rapi dalam
batang kayu
menguap gaib lewat
noktah-noktah jendela mikroskopis
lalu bergabung dalam substansi
gas-gas yang tak dapat
kau sentuh, kau cium, kau
tatap, beribu-ribu klasifikasinya
semua tersusun dalam komposisi
yang begitu rumit
tapi demikian teraturnya, yang
memungkinkan kau
menengadah ke atas sana, dan
tersiuk berkata
waduh
biru
bersih
betul
langit itu
dan tengoklah
serpihan-serpihan bulu domba berserak di angkasa
dengarlah angin telah berganti
baju jadi musik gesek instrumental
yang melatarbelakangi semua
ini, dan kulihat kau menitikkan
dua
tetes
cairan
dari kedua sudut kelopak mata
kau itu.
Puisi punya kepentingan besar
terhadap air yang tersedia
dalam berbagai ukuran bejana
bumi
mengalir melalui bermacam
format saluran tanah
dihuni oleh perenang-perenang
sejati yang berukuran
mulai dari
sejarum peniti sampai
sepunggung gunung
dengan warna-warni panorama
bawah laut
yang luar biasa menakjubkan
bayangan dan penafsiran dari
angkasa penuh cahaya
yang menaunginya
yang di atasnya mengapung dan
mengepak
berjuta penerbang bersayap
dengan gerakan matematis
bercumbu dengan angin dan
bercakap-cakap dengan cuaca.
Puisi punya kepentingan besar
terhadap unggas-unggas itu
yang ketika mengapung di atas
sana
hinggap di dahan atau mengais
tanah
berdialog dengan seluruh
makhluk penghuni bumi
melata dia merangkak dia
berjalan dua kaki dia
menyusupi rumput dia menyelami
tanah dia
dan paru-paru mereka
berdenyut, jantung mereka berdetak
susunan syaraf mereka memberi
sinyal-sinyal cendekia
dalam sirkulasi zat asam yang
siklusnya ruwet
tapi dapat dijelaskan lewat
bahasa apa pun
dan susunan angka-angka apa
pun
sehingga dapat kita raba
peradaban
dan budaya.
Puisi mencatatnya semua,
menyampaikannya kembali
dengan sentuhan yang indah dan
penuh keterharuan
mengulangi ini lewat daurnya
sendiri-sendiri
berabad lamanya beriringan
denyut zikir tiada putusnya
tegak lurus ke arah
Asal
Ini
Semua.
Puisi dengan penuh rasa
khawatir, curiga dan cemburu
menyaksikan dedaunan,
pepohonan, unggas, ikan,
cuaca, zat asam, susunan
syaraf, sungai, danau, lautan
bercakap serak dan gagu dengan
sesamanya
bagi kawanan makhluk yang
telah dilucuti kesempurnaannya
dalam harmoni yang dulu tiada
tertandingi.
Huruf-huruf kapital telah
mengeja keserakahan,
mengejek kemiskinan, mencetak
kekerasan, melestarikan penindasan,
menyebarkan kejahilan, semua
dalam bentuk baru
yang tanpa bandingan sepanjang
umur sejarah,
menerjemahkannya ke setiap
bahasa
lengkap dengan petunjuk
pelaksanaannya
secara kolektif melakukan
penghancuran peradaban
mula-mula dalam kecepatan
perlahan, dan kini
dalam percepatan yang seperti
tiada dapat tertahankan.
Puisi menangisinya,
mencatatnya
dengan huruf-huruf sedih,
sesak nafas, geram dan naik darah.
Puisi menepuk bahu dan mencoba
mengingatkan.
1990